Dari Media Sosial ke Meja Rapat: Perjalanan Panjang Sebuah Gagasan

sumber foto : FB DR. Muhammad Ikhsan

Pagi itu, saya membaca status Facebook seorang Ahli Tata Kota di Riau, Bapak DR. Ikhsan yang mengunggah satu gagasan ke media sosial.  

“Izin, Pak Gub. Untuk mengatasi kemacetan di simpang tugu songket Arengka 2, saya menyarankan untuk memotong median jalan yang mengganggu kelancaran lalu lintas..” begitu penggalan caption yang Ia tulis sembari memposting gambar simulasinya.

Desainnya terlihat sederhana, datanya ringkas, dan bahasanya mudah dimengerti. Dalam hitungan jam, warganet mulai mengomentari, memuji dan bahkan ada yang menambah gagasan lain. Sebagian ada yang membagikan postingan itu.

Bagi sebagian orang, momen itu terasa seperti kemenangan. Bukankah inilah demokrasi digital yang sesungguhnya, gagasan dari warga, apalagi seorang ahli langsung didengar publik luas? Tapi di balik layar, realitas pemerintahan tidak sesederhana itu.

Bapak DR. Ikhsan hanya satu contoh. Masih banyak contoh yang serupa, baik itu datang dari seorang ilmuwan, maupun Masyarakat biasa dengan berbagai latar Pendidikan dan profesi namun memiliki jiwa kritis, meskipun hanya sekedar curhat tentang Pembangunan.

Dalam teori kebijakan publik, perjalanan sebuah ide menuju perubahan nyata harus melewati policy cycle: mulai dari perumusan masalah, formulasi kebijakan, adopsi, implementasi, hingga evaluasi.

Viral di media sosial hanya berada di tahap paling awal, yakni agenda setting, mengangkat isu agar terlihat penting. Setelah itu, prosesnya harus masuk ke jalur birokrasi: dokumen teknis, pertemuan antar instansi, hingga pembahasan anggaran. Tanpa itu semua, ide sehebat apa pun hanya akan menjadi topik hangat yang dilupakan dalam kurun waktu tertentu.

Masyarakat modern, apalagi di era teknologi informasi, punya pola unik. Kita mudah kagum, mudah marah, sekaligus juga mudah lupa.

Teori aspirasi publik membedakan antara demokrasi partisipatoris, di mana publik mengawal isu hingga tuntas, dan demokrasi populis, di mana publik hanya bersuara saat isu sedang ramai diperbincangkan.

Sayangnya, yang sering terjadi Adalah teori yang kedua. Setelah tombol “share” ditekan, tanggung jawab moral dianggap selesai. Tiada lagi yang mengawal hingga menjadi aksi nyata. Mungkin karena warga kurang mengerti bagaimana melalukan pengawalan gagasan, ataupun bisa jadi karena sudah apatis akibat kekecewaan kepada pengambil Keputusan yang kurang mendengar aspirasi publik.

Di sisi lain, teknologi media sosial adalah pedang bermata dua. Ia memberi ilmuwan akan panggung besar untuk mengedukasi publik dan memengaruhi opini. Namun, algoritmanya tidak dirancang untuk mempertahankan fokus pada satu isu; ia justru mendorong kita berpindah dari satu topik ke topik lain secepat jari menggulir layar.

Akibatnya, hanya ide yang dikemas dengan konsep dramatis yang bisa bertahan lama, sedangkan ide yang solutif tanpa settingan dramatis, akan hilang ditelan masa.

Itulah sebabnya, ilmuwan yang ingin gagasannya benar-benar diadopsi harus bermain di tiga arena sekaligus. Di arena pemerintahan, ia harus menempuh jalur resmi. Mulai dari penyampaian proposal, lobi, hingga rapat kebijakan. Di arena masyarakat, ia harus mengajak publik menjadi pengawal aktif, bukan penonton pasif. Dan di arena teknologi, ia harus cerdas mengemas pesan, namun tetap menjadikannya pintu masuk, bukan tujuan akhir.

Perjalanan aspirasi dari media sosial ke meja rapat memang panjang dan melelahkan. Tapi tanpa perjalanan itu, viral hanya akan menjadi percikan kecil yang cepat padam.

Perubahan nyata itu bak menyalakan api unggun, membutuhkan bahan bakar, pemantik api, perawatan, dan kesabaran agar api terus membesar. Dan di sanalah peran sejati ilmuwan, selain hadir sebagai sebagai penyala api, tapi juga penjaga nyala hingga menerangi banyak orang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top